Residen Madiun, J.J Donner terenyak dengan pemberitaan miring tentang dirinya. Dalam surat kabar kabar Pembrita Pribumi, Tirto Adhi Soerjo, sang jurnalis, membongkar skandalnya memecat Bupati Madiun, Brotodiningrat. Motif Donner melakukan hal tersebut: agar dia bisa mencalonkan bupati baru. Donner lalu bersekongkol dengan dengan Patih dan Jaksa Kepala Madiun, Mangoen Atmodjo dan Adipoetro untuk melakukan aksinya itu. Dalam surat rahsia kepada Gubernur Jendral Rooseboom, Dooner melaporkan Brotodiningrat memimpin sejumlah kerusuhan di Keresidenan Madiun, Banten, sampai ke Banyuwangi. Tapi naas, skandal tersebut dikupas habis-habisan oleh Tirto Adhi Soerjo (Pramoedya Ananta Toer, 1985 : 28-34).
Aral pun melintang. Dengan berbagai upaya, Donner mengahalangi munculnya saksi. Meskipun demikian, skandal yang dibongkar oleh Tirto Adhi Soerjo, meluruskan bahwa Brotodiningrat adalah korban fitnah.
Tak lama setelah masalah tersebut diekpose ke publik, Tirto pun masuk daftar Pemerintah Pusat (Hindia Belanda). Berbagai propaganda menghujaninya. Sepak terjangnya di dunia jurnalistik akhirnya berakhir dengan dibuangnya dia ke Telukbetung.
Pramoedya menuliskan sepak terjang Tirto Adhi Soerjo dalam buku Sang Pemula. Pram juga mendokumentasikan karya jurnalistik sekaligus cerita-cerita pendek Tirto. Tirto, tulis Pram, meskipun tak menyelesaikan studi ilmu kedokteran di STOVIA, tapi dia berhasil mendirikan tiga surat kabar, yaitu Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Poetri Hindia (1908). Ketiga-tiganya menggunakan bahasa Melayu. Tirto Adhi Soerjo adalah tokoh pers nasional dan tokoh pergerakan nasional.
Bukan hal yang baru, penguasa menganggap pers sebagai momok menakutkan. Bahkan setelah Indonesia merdeka, saat rezim Orde Baru berkuasa—bukan lagi rahasia umum—sejumlah media: Majalah Tempo, Tabloid detik, Majalah Editor, dan beberapa surat kabar harian lainnya, diberedel (dilarang terbit) lantaran memberitakan kebobrokan pemerintah.
Agaknya fungsi pers untuk kepentingan publik sering kali terbelenggu oleh kebijakan penguasa yang represif dan pemilik media yang congkak. Jika pada masa Orde Baru, pemerintah mengekang kebebasan pers. Pasca-reformasi 1998, justru pemilik modal yang mengangkangi nilai-nilai pers itu sendiri, dan kebijakan pemerintah sedikit demi sedikit membatasi kerja-kerja pers dalam menegakkan demokrasi.
Wajah pers pasca-reformasi
Alih-alih mampu berpihak pada kepentingan publik dan menjadi salah satu pilar demokrasi, pers kini justru dihadapkan pada permasalahan lainnya. Media-media partisan milik para oligart, dan kebijakan yang membatasi peran pers, adalah dua hal yang umum terjadi saat ini, bahkan hal tersebut juga terjadi di tingkat pers mahasiswa.
Dalam pengantar di buku Laporan Tahunan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2013 Etika Media di Tahun Politik, Ketua Umum AJI, Eko Maryadi, mencatat:
“Sejak 2012, aura politik di media sudah terasa terutama di Jakarta. Dimulai dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI pada Juli-September 2012, disusul Pilkada Jawa Barat dan Jawa Tengah, dan pertengahan 2013 Pilkada Jawa Timur. Suasana politis makin mengental, seiring munculnya problem etika jurnalistik dalam pemberitaan media.
… Problem etik lain adalah semakin berkelindannya politik dan media karena keterlibatan pemilik media dalam ranah politik. Pada Mei 2013, AJI Indonesia mengeluarkan pernyataan menyoal rencana penyalahgunaan media jurnalisme dan frekuensi publik untuk kepentingan politik tertentu…”
Hal ini sungguh dilematis. Secara logika pastilah pemilik media, yang di lain sisi juga pengurus atau pimpinan partai politik, tentu hanya mengekpose hal yang baik-baik saja ihwal partai atau anggota partainya yang menjadi pemangku kekuasan (elite politik). Jurnalis yang bekerja pada media tersebut, mau tidak mau, harus tunduk pada kebijakan perusahaan, dan pikiran kritis mereka pun mati secara perlahan-lahan. Di lain sisi, Rapat Paripurna DPR telah menyetujui dan mengesahkan Tata Tertib Peliputan Pers di DPR, yang membatasi akses jurnalis untuk meliput kegiatan para legislatif itu (Arif Bambani, dkk, 2013: 19-20).
Pers mahasiswa di Unigha
Pers kampus di Jabal Ghafur Gle Gapui (Unigha) Sigli, mengalami hal serupa, seperti yang telah diuraikan di atas. Sejak didirikan pada 2013 lalu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pijar Unigha, kewalahan dengan pendanaan karena selama ini dana bersumber langsung dari rektorat. Pun dalam pemberitaan, intervensi pihak kampus yang tak mau keadaan kampus diekspose, menyensor habis-habisan isi pemberitaan, membuat lembaga ini tak leluasa bekerja.
Di lain sisi, belum terbitnya tabloid, yang semula direncanakan bisa menjadikan LPM Pijar mandiri untuk biaya penerbitan ke depan, belum terealisasi. Yang terparah adalah kami juga mengalami kasus yang pernah dialami Tirto Adhi Soerjo, di mana propaganda penguasa (rektorat) terhadap LPM Pijar membuat sebagian mahasiswa lain takut bergabung dengan LPM Pijar, bahkan beberapa anggota memilih mundur dari keanggotaan. Dalam usia yang masih muda LPM Pijar dengan segala keterbatasannya, harus mengakui, bahwa saat ini, kami masih belum bisa berbuat banyak untuk kepentingan mahasiswa Universitas Jabal Ghafur Gle Gapui Sigli.
Jalan keluar menuju jurnalisme pro demokrasi
Perkumpulan jurnalis bisa menjadi wadah untuk membendung berbagai masalah yang telah disebutkan di atas. Selain itu, integritas jurnalis dan sumber daya manusia menjadi modal penting agar bisa melahirkan berita yang berkualitas. Dengan adanya wadah berkumpul, para jurnalis bisa bertukar pikiran ihwal masalah yang mereka hadapi. Dengan adanya wadah berkumpul, jurnalis juga bisa berbagi pengalaman serta berbagi ilmu. Terakhir, semakin banyak jurnalis yang sadar akan segala kesewenang-wenangan tersebut, maka semakin banyak pula perlawanan yang lahir, menentang hal itu. Dan wadah perkumpulan adalah tempat membangun kesadaran tentang profesionalisme sang jurnalis dan etika jurnalistik. Terakhir, tentu saja advokasi akan lebih efektif apabila disertai “gelombang-gelombang besar”, yang membantu menghantam segala bentuk kezaliman terhadap pers.
Daftar Pustaka :
Bambadi, Arif, dkk. 2013. Laporan Tahunan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2013: Etika Media di Tahun Politik. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, 2013.
Toer, Pramoedya Ananta. 1985. Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra.